Koordinator Staf Khusus Presiden Bicara tentang Kepemimpinan Bali di Stispol Wira Bhakti

Denpasar – Masyarakat diharapkan untuk lebih cerdas dalam memilih pemimpin. Hal ini dikarenakan, fokus perhatian seringkali ditujukan pada pemimpin dan pesonanya, bukan pada proses kepemimpinan dan hasilnya. Hal itu ditegaskan Koordinator Staf Khusus Presiden, Dr. AAGN Ari Dwipayana, S.IP., M.Si., saat menjadi narasumber dalam seminar nasional yang digelar Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Stispol) Wira Bhakti, Rabu (19/10).

Ia menegaskan, sosok pemimpin yang ideal, berkualitas dan berintegritas akan berbasis kinerja, bukan hanya tebar pesona. “Kita sering melihat, menjelang pemilihan banyak calon pemimpin yang tebar pesona dan seolah-olah peduli dengan masyarakat dan gencar mempublikasikan kegiatannya di medsos,” katanya.

banner 728x250

Menurut Ari Dwipayana, dalam kearifan lokal Bali, kepemimpinan yang ideal adalah patut, pasaja, pantes dan pangus. Patut adalah selalu berorientasi pada kebenaran, kesucian dan bukan hanya nafsu kekuasaan. Pasaja adalah mewujudkan tindakan yang konsisten. Saat ini dunia senantiasa berubah, dan pemimpin harus mampu membaca perubahan tersebut dan bagaimana cara meniti perubahan ini. Kadang harus menabrak tembok tapi bisa bermanuver. Sementara pantes atau terkait etika dan lascarya ngayah, tetapi juga menyadari bahwa dirinya juga penuh dengan keterbatasan. “Seorang pemimpin tidak bisa nyape kadi aku. Hal ini penting agar seorang pemimpin bisa memperbaiki kelemahannya,” katanya.

Ia menambahkan, pangus sama dengan sundaram, keindahan, memayu hayuning bawono. Bumi indah dengan keragaman, sehingga bisa respek pada keragaman tapi mendorong kolaborasi. Dari proses inilah akan terbentuk jiwa atau taksu, karakter dan sifat pemimpin.

Ari Dwipayana juga sempat menyinggung kepemimpinan menurut Hindu yaitu Asta Brata. Asta Brata adalah delapan ajaran utama tentang kepemimpinan. Asta Brata disimbolkan dengan sifat-sifat dari alam semesta yang patut dijadikan pedoman bagi setiap pemimpin.

Menjadi pemimpin, kata Ari Dwipayana bukan soal kelahiran, tapi soal pembentukan yang dimulai dari proses edukasi dan latihan sejak dini, seperti menanamkan nilai-nilai tanggung jawab, jujur, percaya diri, berani, empati dan simpati di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. “Setiap orang berpotensi menjadi pemimpin. Setidaknya memimpin diri sendiri dulu dan kelompok-kelompok kecil sehingga terlatih dan teruji dan nanti lolos untuk memimpin yang lebih besar,” katanya.

Ia juga mengungkapkan, untuk mengukur keberhasilan, bisa dilihat dari organisasi dan anggotanya bukan pada pemimpinnya. Apakah anggota menjadi tergerakkan, memiliki visi sama dengan pemimpin. Apakah organisasinya makin baik, kuat dan tangguh. Di samping itu, pemimpin dan kepemimpinan juga perlu diuji, sehingga saat terjadi krisis/turbulensi, akan terlihat wataknya. Jika seorang pemimpin telah mampu melewati badai, maka pemimpin tersebut akan teruji.

Menurut Ari Dwipayana, dalam kepemimpinan nasional saat ini, bagaimana seharusnya pemimpin menghadapi ujian itu sudah dicontohkan Presiden Jokowi. Presiden Jokowi mampu mengambil tindakan yang tepat dalam menghadapi pandemi Covid-19, di mana hampir seluruh negara di dunia menghadapi krisis, yang bukan saja masalah kesehatan, namun juga ekonomi dan bahkan dinilai dunia menjadi salah satu negara yang berhasil dalam mengatasi pandemi Covid-19.

Dalam seminar tersebut juga hadir pembicara lainnya seperti Ketua KPU Denpasar, I Wayan Arsa Jaya yang membahas tentang partisipasi politik menyongsong Pemilu Serentak 2024 dan Tenaga Ahli DPR RI, Gusti Ayu Putu Ardaba Kory yang membahas tentang kepemimpinan perempuan. Hadir juga Ketua Yayasan Kebaktian Proklamasi, I Gusti Ngurah Gede Yudana, Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Bali I Gusti Bagus Saputera, Ketua Stispol Wira Bhakti, Prof. Dr. Wayan Windia dan seluruh civitas akademika Stispol Wira Bhakti dan SMK Wira Bhakti. *