Memaknai Hari Raya Saraswati Dalam Era Pembelajaran Daring

Oleh Anak Agung Putu Sugiantiningsih

Sebuah era peradaban penuh kontroversi telah berada di tengah-tengah masyarakat. Per hari ini Senin, 2 Maret 2020 nama Indonesia masuk ke dalam negara yang terjangkit virus corona. WHO pun secara resmi menamakan virus baru ini sebagai Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus (SARS-CoV-2) penyebab penyakit Covid-19. Virus yang hingga saat ini merongrong kebahagiaan masyarakat di seluruh dunia. Terlebih anak-anak sekolah yang hampir 2 tahun tak merasakan sentuhan dari para pendidik, serta tak terdengar lagi riuh riang peserta didik saat bermain dengan kawan-kawan sepermaian.
Dalam sebuah percakapan seorang Ibu dan anak, terdengar miris ditelinga penulis. Sang Ibu menegur anaknya yang asik bermain gudget, seolah mengingatkan bahwa sabtu esok adalah perayaan hari turunnya ilmu pengetahuan. Sang anak dengan mudahnya menjawab pertanyaan sang Ibu. Dengan kritis. Baginya hari raya turunnya ilmu pengetahuan, sudah tidak penting lagi. Hampir dua tahun lamanya tak ke sekolah, karena daring. Sudah tak perlu melaksanakan kegiatan yadnya dengan menyembahyangi buku-buku sebagai perwujudan Dewi Saraswati. Si anak berpikiran begitu, mengingat kini pembelajaran dilakukan tak lagi berjumpa dengan buku. Tapi dengan gudget serta sosial media yang memfasilitasi. Bagi si anak, yang patut di sembahyangi kini adalah gudget yang merupakan sumber dari segala ilmu pengetahun. Gudget merupakan Dewi penolong bagi si anak.
Hari Raya Saraswati dalam kepercayaan umat Hindu di Bali. Diperingati Setiap Enam Bulan Sekali (210 hari) tepatnya pada Saniscara atau Sabtu Umanis Wuku Watugunung. Umat Hindu di Indonesia memperingati hari Saraswati sebanyak dua kali. Hari Raya Saraswati juga merupakan penghormatan terhadap Dewi Pengetahuan yaitu Dewi Saraswati.
Dewi Saraswati digambarkan sebagai sosok perempuan cantik berlengan empat yang duduk di atas teratai dan berwahana seekor angsa dan merak. Kedua tangan kanannya membawa sitar atau veena dan ganatri, sedangkan kedua tangan kirinya yang satu membawa pustaka atau keropak sedangkan tangan kiri satunya ikut membawa sitar atau veena. Dewi Saraswati juga merupakan istri Dewa Brahma yang dikenal sebagai Dewi Pelindung atau pelimpah pengetahuan, kesadaran, dan sastra.
Makna perayaan hari, harus bersyukur kepada Hyang Widhi atas kemurahan-Nya yang telah menganugrahkan vidya (ilmu pengetahuan) dan kecerdasan. Dengan vidya makhluknya harus terbebas dari avidya (kebodohan) dan menuju ke pencerahan, kebenaran sejati dan kebahagiaan abadi. Selama ini secara spiritual makhluknya masih tertidur lelap dan diselimuti oleh sang maya (ketidakbenaran) dan avidyam (kebodohan). Dengan vidya ini harus berusaha untuk melek/eling/bangun dan tidur kita, hilangkan selimut maya, sadarilah bahwa kita adalah atma, dan akhirnya tercapailah nirwana.
Belajar dan angsa untuk menjadi orang yang lebih bijaksana. Angsa bisa menyaring air, memisahkan makanan dan kotoran walaupun di air yang keruh/kotor atau lumpur. Juga jadilah orang baik, seperti buruk merak yang berbulu cantik, indah, dan cemerlang walaupun hidupnya di hutan. Kita masih memerlukan atau mempelajari ilmu pengetahuan dan sains yang sekuler, tetapi harus diimbangi dengan ilmu spiritual dengan peng-hayatan dan bakti yang tulus. Laksanakan puja atau sembahyang sesuai dengan kepercayaannya masing-masing secara sederhana dengan bakti yang tulus atau ikhlas, bisa dirumah, kuil, atau pura, dan lain-lain.
Buku diibaratkan sebagai stana Dewi Saraswati. Saat Sang Dewi berstana, di aatas buku, maka tak ada yang boleh mengganggu. Dan dihaturkan persembahan berupa banten saraswati. kini para peserta didik, tak lagi merasakan stana Sang Dewi. Mengingat selama sistem pembelajaran daring (dalam jaringan), para peserta didik dibantu oleh google kala proses pembelajaran daring dilakukan. Tak pelak jadi bulan-bulanan, bahwa buku kita tergantikan oleh gudget canggih yang serba tahu. Ada ahndphone, berasa dunia dalam sebuah genggaman. Tak bisa dibohongi lagi, bahwa peserta didik sangat jarang membuka buku, lebih di dominasi dengan gudget. Terlebih pada masa pandemic covid-19 ini.
Kiranya dalam situasi pandemi, menanamkan nilai-nilai religious dan saling mengargai antar umat beragama, tidak akan menguranggi makna yang ada, makna kebaikan untuk para pelajar. Perlunya dharma wacana saraswati secara dariang, yang diikuti seluruh Pendidikan penting sebagai penentu nasib Bangsa. Pendidikan mampu mengubah dunia, jika dididik dengan karakter yang baik, mentalitas yang bagus, hati, pikiran dan pelaksanaan tugas berlangusng dengan baik pula. Era digitalisasi jangan sampai menggerus tradisi yang ada saat ini. Buku merupakan jembatan ilmu, yang mengajarkan banyak hal pada generasi penerus bangsa kelak. Walaupun saat ini sistem pembelajaran berlangsung secara daring, buka berarti yang diupacarai adalah gadget si pelajar. Perlu menjadi catatan bersama, bahwa segala isi alam semesta berasal dari Sang Pencipta. Menurut kepercayaan Agama Hindu, berwujud Dewi Saraswati. *

banner 728x250

*) Penulis adalah dosen Stispol Wira Bhakti Denpasar