Ruralisasi di Masa Pandemi Covid-19

Oleh I Dewa Nyoman Juniasa

Sebelum pandemi Covid-19, kegiatan ekonomi di perkotaan dan daerah tujuan pariwisata dijadikan sebagai magnet bagi para urban pencari kerja. Sektor-sektor lain yang memberikan harapan dan lapangan kerja bagi pendatang untuk mengadu nasib dengan tujuan memperbaiki kehidupan ekonominya. Hal ini tercermin dari meningkatnya warga pedesaan yang berbondong-bondong datang ke kota untuk mencari kehidupan baru yang lebih baik, dengan kata lain melakukan urbanisasi. Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari luar kota/desa ke kota. Mereka yang hijrah ini, tidak hanya bagi mereka yang tidak memiliki lahan garapan dari asalnya tetapi juga dilakukan oleh mereka yang memiliki banyak lahan pertanian ataupun perkebunan.
Urbanisasi yang terjadi dipicu karena berbagai faktor seperti terbatasnya fasilitas yang ada di pedesaan, standar hidup yang rendah, lapangan kerja yang sangat terbatas. Tidak sedikit dari mereka tertarik dan terpengaruh karena faktor hingar-bingarnya kehidupan di perkotaan melalui tontonan cerita/sinetron di berbagai media yang salah satunya adalah media televisi. Dari faktor-faktor ini, mereka beranggapan bahwa kehidupan di perkotaan lebih menjanjikan daripada menjalani kehidupan di pedesaan sebagai petani yang identik dengan kemiskinan. Dengan hijrahnya mereka yang rata-rata usia produktif menjadikan situasi sosial ekonomi di pedesaan makin sepi. Jumlah penduduk pedesaan makin berkurang bahkan ada yang hanya terdiri dari bapak dan ibu dalam satu keluarga.
Dengan terjadinya urbanisasi secara berkelanjutan, akhirnya menimbulkan masalah baru di wilayah pedesaan, seperti banyaknya lahan-lahan pertanian dan perkebunan yang terlantar akibat ditinggal oleh pemiliknya yang ikut melakukan urbanisasi. Peluang kerja yang ada di pedesaan nyaris semuanya di ambil alih oleh kaum “tamiu” (pendatang) dari daerah lain bahkan dari luar Bali. Hal ini tercermin saat musim panen padi di sawah, peluang kerja ini yang dulunya dikerjakan bersama-sama oleh ‘sekaa manyi’ yang ada di masing-masing desa, diambil alih oleh warga luar desa bahkan ada yang dari Jawa. Begitu pula saat musim panen cengkeh, banyak tenaga kerja yang didatangkan dari daerah lain untuk menggantikan tenaga kerja lokal yang hijrah ke daerah perkotaan. Menghadapi situasi seperti ini, banyak para juragan/pemilik kebun dalam memanen hasil kebunnya yang karena krisis tenaga kerja menggunakan istilah seperti, “nandu” (sistem bagi hasil), di mana antara pemilik dengan pekerja mendapatkan porsi/bagian yang sama, dengan istilah borongan, dimana antara pekerja dan pemilik membuat perjanjian dan kesepakatan sesuai dengan jumlah dan nilai yang disepakati. Dengan istilah “pajeg/memajeg”, di mana hal ini dimaksudkan bahwa pemilik menjual hasil penennya kepada pembeli yang masih berada di pohon, yang mana biaya panennya ditanggung sepenuhnya oleh si ‘pemajeg’/pembeli. Semua istilah-istilah ini dimaksudkan dalam menyiasati terjadinya krisis tenaga kerja yang terjadi saat musim panen dan juga sebagai tindakan preventif untuk menghindari terjadinya kegagalan panen akibat lambatnya waktu panen.
Gambaran di atas sangat bertolak belakang dengan kondisi yang terjadi di saat pandemi Covid-19 mulai melanda dunia. Pertumbuhan ekonomi dunia menjadi melemah yang berdampak semakin sempitnya kesempatan kerja dan semakin meningkatnya angka pengangguran. Bali salah satu daerah yang menghandalkan kehidupan dari sector pariwisata, merupakan daerah yang paling terdampak dari wabah covid-19. Pariwisata sebagai denyut nadi perekonomian Bali yang banyak memberikan peluang kerja bagi kaum imigran dari berbagai daerah menjadi mati suri. Banyak infrastruktur dan usaha pariwisata yang kolaps dan akhirnya ditutup. Berbagai infrastruktur pariwisata seperti hotel, restoran, tempat hiburan dan penunjang lainnya menjadi terlantar. Hingar-bingar yang menjadi keseharian daerah tujuan wisata yang selama ini tidak pernah sepi, kini ibaratkan kota mati tanpa aktivitas. Aksesibilitas yang menuju tujuan wisata yang kesehariannya selalu diwarnai kemacetan akibat volume kendaraan pariwisata yang berjubel kini lenggang ibarat lapangan bola. Dentuman musik yang mengiringi lagu di hiburan malam/night club yang memekakan telinga dengan dansa para tourist dari berbagai negara kini sepi dan sunyi. Objek-objek wisata yang biasanya selalu sesak dikunjungi oleh wisatawan, kini banyak yang telah ditutup karena tidak adanya aktivitas.
Dengan lumpuhnya kegiatan ekonomi dampak dari wabah Covid-19 berakibat pula terhadap para pekerja yang ada di dalamnya. Ribuan karyawan terutama pada sektor pariwisata yang paling terdampak langsung dari wabah ini, seperti karyawan hotel, restaurant, travel, dan lainnya banyak yang telah dirumahkan. Ada sebagian dari mereka masih mencoba mencari peluang lain untuk bisa bertahan dalam menghidupi keluarganya seperti dengan berdagang, pengendara ojek online (ojol), buruh bangunan dan sebagainya. Di berbagai sudut jalan berbagai jenis mobil berjejer dengan berisi beraneka macam produk yang dijual. Ironis memang, mobil mewah yang sebelumnya peruntukan untuk tumpangan wisatawan, kini menjadi beralih fungsi sebagai armada untuk berdagang. Namun, banyak dari mereka yang sulit mendapatkan pekerjaan memilih untuk kembali ke kampung halamannya dengan kata lain melakukan ruralisasi.
Ruralisasi merupakan kebalikan dari urbanisasi, yakni pergerakan orang-orang dari kota yang selama ini bekerja dan mendapatkan penghidupan di kota dan kembali ke desa. Ruralisasi berdampak terhadap bangkitnya kembali suasana dan aktivitas yang selama ini ditinggal oleh warga desa akibat urbanisasi. Kesempatan kerja yang ada selama ini dikerjakan oleh tenaga kerja yang bukan dari desa setempat, mulai diambil alih sedikit demi sedikit oleh warga asli desa yang kembali lagi dari kota. Dari kegiatan bersih-bersih kebun ataupun pertanian lainnya sudah ditekuni kembali tanpa harus memanfaatkan lagi tenaga dari luar desa. Hal yang masih terlihat dalam penggunaan tenaga kerja dari luar desa adalah dalam hal panen cengkeh, karena sub sector ini memerlukan banyak orang yang tidak mungkin bisa dikerjakan dengan hanya menggunakan tenaga lokal. Dengan terjadinya ruralisasi ini memantik munculnya serbuan tenaga kerja baru yang terjadi di pedesaan. Tenaga kerja baru ini adalah mereka yang melakukan ruralisasi, yang sebelumnya bekerja di sector pariwisata seperti di hotel, guide, bartender, sopir pariwisata dan sebagainya. Dimana dari mereka mencoba kembali untuk bekerja sebagai buruh juru petik cengkeh dan kerja kasar lainnya. Bahkan ada yang menjadi kuli bangunan dan juru tebas padi di sawah. Dan bagi mereka yang tidak memiliki keberanian dan kemampuan serta karena gengsi dalam beralih profesi dari sebelumnya, hanya bisa pasrah yang akhirnya menjadi beban keluarga.
Fenomena ini sangat kontras dari keadaan sebelumnya, dimana mereka bekerja dengan tampilan rapi, berdasi, dengan aroma parfum di setiap beraktivitas, namun kini tidak ada bedanya dengan buruh pada umunya. Memang tidak ada pilihan lain lagi, selain harus tetap bekerja untuk bertahan hidup. Berbeda lagi dengan mereka yang memiliki penghasilan lebih selama merantau, dengan kepintaran menabung mereka bisa memiliki lahan perkebunanan dan pertanian di desa. Bagi mereka ini, dengan terjadinya ruralisasi seperti sekarang, semakin menguatkan mereka dalam menjalani kehidupan baru di pedesaan sebagai petani.
Ruralisme tidak selalu berdampak negatif, namun juga berdampak positif, seperti dalam pengurangan jumlah penduduk yang berada diperkotaan yang secara tidak langsung menekan terjadinya polusi dan masalah sosial. Terjadinya kemudahan interaksi dan komunikasi dalam pertukaran informasi dari kota ke desa sehingga mampu nantinya mempengaruhi pola pikir dan kehidupan masyarakat pedesaan untuk bisa hidup lebih maju dan modern. Dengan pengalaman dan ilmu yang didapatkan di kota bisa diimplementasikan dalam menggarap dan memberdayakan potensi desa untuk membangun ekonomi masyarakat pedesaan. Hubungan interaksi dan komunikasi antar-sesama warga desa yang sangat terbatas selama ini, dapat terbangun kembali dengan baik. Munculnya kesadaran baru bagi masyarakat pedesaan untuk bangkit dalam menjaga dan melestarikan keberadaan sektor pertanian yang telah terbukti sangat ampuh dan kuat dibandingkan dengan sektor lain dalam menghadapi segala situasi, seperti halnya di masa pandemi Covid-19 saat ini. *

banner 728x250

*) Penulis adalah Dosen Stispol Wira Bhakti Denpasar.

Sumber: https://suratkabarbali.com/2021/07/15/ruralisasi-di-masa-pandemi-covid-19/