Kembalikan Pecalang pada Tupoksi: Swadharmaning Agama

Anak Agung Putu Sugiantiningsih

Bali merupakan ikon pariwisata Indonesia di mata dunia. Dalam seni, budaya, adat istiadat. Bali memiliki daya tariknya tersendiri. Dengan mayoritas masyarakatnya yang beragama Hindu, membuat Bali membawa Pesona atau taksunya sendiri. Salah satu daya tarik yang dimiliki adalah polisi adatnya yang disebut pecalang. Pecalang merupakan sebuah organisasi kemasyarakatan yang mempunyai tugas pokok dalam menjaga keamanan dan ketertiban saat berjalannya suatu upacara Agama Hindu yang ada di Bali. Sesuai dengan perannya dalam menjaga keamanan dan ketertiban saat kegiatan agama, dengan ciri khas busana yang unik menggunakan kamen, saput poleng, dan udeng, bunga pucuk dan terselip senjata keris. Busana pecalang identik dengan warna tridatu. Merah hitam dan putih . Pecalang menjalani perannya sesuai dengan tupoksi yang terdapat dalam sesana pecalang.
Bila ditarik sejarah munculnya pecalang, terkait dengan sejarah terbentuknya desa pekraman atau desa adat. Dengan kemunculan pecalang memiliki benang merah. berawal dari tirtayatra seorang Rsi Agung dari India bernama Rsi Markandeya ke Bali. Pada saat itu, di Bali sudah ada orang-orang pribumi yang merupakan cikal bakal terbentuknya desa pekraman kemudian Rsi Markandya memiliki visi dan misi untuk membangun desa pekraman yang selanjutnya membentuk Jagabaya sebagai pengamanannya. Pecalang pada saat itu disebut sebagai jagabaya desa (penjaga desa). Pecalang berasal dari kata “calang” yang menurut teologinya dari kata “celang” yang dapat diartikan waspada. Secara bebas pecalang adalah seorang yang ditugaskan untuk mengawasi keamanan desa adatnya. Ibaratnya sebagai petugas keamanan desa adat pecalang telah terbukti ampuh mengamankan jalannya upacara-upacara yang berlangsung di desa adatnya. Bahkan secara luas mampu mengamankan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan khalayak ramai. Pecalang memiliki peran penting dalam fungsi menjaga keamanan desa sehingga diatur pada Perda Nomor 3 tahun 2001 yang telah diubah dengan Perda 3 Tahun 2003 tentang desa pekraman.
Nama pecalang mulai mencuat ketika kongres yang diselenggarakan oleh Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan di Nusa Dua. Sejak itulah nama pecalang menjadi termasyur di seluruh dunia, bahkan Taksu pecalang sangat disegani oleh masyarakat di luar Pulau Bali ini. Akhirnya setelah kongres itu pecalang mulai dipergunakan untuk menjaga keamanan pada setiap kegiatan-kegiatan yang bersifat adat maupun yang bersifat nasional bahkan kegiatan internasional. Pecalang tak lagi melaksanakan penjagaan keamanan dan ketertiban berdasarkan swadharmaning agama, saja akan tetapi telah melebar atau meluas pada kegiatan yang bersifat swadharmaning Negara. Pecalang merupakan salah satu organisasi yang terdapat di dalam desa pakraman atau saat ini disebut desa adat, desa pekraman/desa adat adalah kesatuan masyarakat hukum yang ada di Provinsi Bali yang mempunyai kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat Hindu secara turun-temurun dalam ikatan Khayangan Tiga atau Khayangan desa, mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta hak mengurus rumah tangganya sendiri (pasal 1 nomor 4) Perda provinsi Bali nomor 3 tahun 2001 tentang desa pakraman.
Hal ini diatur pada pasal 5 dan 6 tentang tugas dan wewenang desa pakraman salah satunya adalah membuat awig-awig. Awig-awig adalah aturan yang dibuat oleh desa pakraman atau krama banjar, yang dipakai sebagai pedoman dalam pelaksanaan Tri Hita Karana, sesuai dengan desa mawicara dan dharma agama di desa pakraman atau banjar pakraman masing-masing. Namun pada tahun ini lahirlah Perda Provinsi Bali No.4 tahun 2019, yang telah disahkan pada tanggal 28 Mei 2019 secara hukum. Penandatanganan yang dilakukan oleh Gubernur Bali dengan mencari dewasa Ayu pada tanggal 4 Juni 2019 di wantilan Pura Samuan tiga Kabupaten Gianyar.
Dikeluarkannya Perda Provinsi Bali No.4 tahun 2019 tentang desa adat ini berdasarkan pertimbangan di mana keadaan desa adat harus direvitalisasi mengingat keberadaan desa adat sangatlah penting dan sakral. Perda ini diharapkan menjadi landasan yang baik. Desa adat merupakan kearifan lokal Bali. Nilai-nilai kearifan lokal tersebut harus dipertahankan, dilestarikan dan tentunya disakralkan. Membicarakan desa adat merupakan membicarakan yang sangat sensitif karena fundamentalnya harus tegak lurus dengan kearifan lokal Bali.
Adapun beberapa perubahan yang terjadi dalam Perda Provinsi Bali No. 4 tahun 2019 tentang desa adat, antara lain pasal 4 Perda Provinsi Bali menyatakan bahwa desa adat berkedudukan di Provinsi Bali dan pasal 43 serta 44 di mana desa adat memberdayakan seluruh aparatur dari desa adat itu sendiri. Dulu Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) diganti sebutannya menjadi Majelis Desa Adat tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota serta Kecamatan. Oleh karena itu dengan dikuatkannya keberadaan desa adat dalam Perda Provinsi Bali nomor 4 tahun 2019 . kedudukan pecalang pun secara fungsional mulai
Pecalang merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki, tercermin pula pada kelompok keamanan tradisionalnya. Banyak fenomena yang ada mengharuskan kelompok satuan petugas keamanan yang berjaga di lingkungan desa adat ini sangat penting untuk dibentuk. Seringkali terjadi pencurian arca-arca penting dan sakral di Pura, pencurian dana punia dari umat Hindu yang bersembahyang, perusakan bangunan pura oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, serta pelecehan tempat suci di area pura.
Dengan kejadian seperti ini sangat meresahkan bagi masyarakat Hindu di Bali. Berdasarkan fenomena ini, penting dibentuk pecalang. Perluasan tugas pecalang pun terjadi, pecalang tak lagi melaksanakan swadharmaning agama semata, tetapi telah meluas dengan melaksanakan swadharmaning adat serta Negara. Seperti menjaga kegiatan Pesta Kesenian Bali (PKB), resepsi pernikahan para artis, acaran ibadah umat agama lain, menjaga pantai, tempat pariwisata, bahkan menjadi pengatur parker. Perluasan ini cenderung mengalami kontroversi, seolah taksu pecalang telah hilang, karena dianggap profesi dimanfaatkan secara materialistis. Pengabdian pecalang, bergeser menjadi sebuah profesi jasa yang harus diperhitungkan upahnya. Dulu mencari seorang warga untuk “ngayah” sebagai pecalang amatlah sulit, tapi kini, menjadi pecalang bahkan harus melalui tahap seleksi karena peminatnya banyak. Dengan diberlakukannya Perda No.4 Tahun 2019, telah menunjukkan eksistensi pecalang yang secara fungsional diperjelas tupoksinya. Terbukti dengan dikembalikannya tugas pokok dan fungsi pecalang seperti dahulu melaksanakan swadharmaning agama saja. Sedangkan Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali telah mentransformasi pecalang dengan nama yang berbeda, tetapi menjalankan sisi pecalang dalam swadharmaning adat dan Negara. Wadah ini disebut BANKENDA (Bantuan Keamanan Desa Adat). Diharapkan dengan dibentuknya BANKENDA, taksu pecalang akan kembali bersinar dengan pengabdian”ngayah” sesuai dengan sesananing pecalang yang telah ada sejak dahulu.

banner 728x250

*) Penulis adalah Dosen/Wakil Ketua III di STISPOL Wira Bhakti dan Sekjend KBPP POLRI

Sumber: https://atnews.id/portal/news/9170