Adaptasi Pelayanan Publik di Masa Pandemi Covid-19

Oleh I Nengah Merta

Secara global hampir mendekati dua tahun dunia dilanda pandemi Covid 19. Kondisi ini menyebabkan banyak perubahan aspek kehidupan tidak hanya sosial ekonomi tetapi juga pemerintahan mengalami situasi harus beradaptasi dengan kondisi saat ini. Mengenai kapan selesai pandemi ini tidak ada yang mampu memprediksi. Karena itu menyiasati kondisi ini pemerintah wajib melakukan berbagai upaya agar pelayanan publik tetap berlangsung. Fokus kita kali ini adalah bagaimana birokrasi termasuk ASN-nya yang ada saat ini mampu beradaptasi dan bekerja dengan baik di era new normal ini.
Sebagai kunci perubahan sosial, administrator birokrasi harus mampu berinovasi agar supaya birokrasi pelayanan publik menjadi lebih adaptif dan responsif. Pemerhati Ilmu Administrasi Publik tentu tidak akan pernah lupa sumbangan pemikiran Denhardt dan Denhardt (2004) dalam bukunya yang sangat terkenal “The New Public Service: Serving, Not Steering” yang membagi paradigma administrasi publik menjadi 3 (tiga) yaitu Old Public Administration (OPA), New Public Management (NPM), dan New Public Service (NPS). Tiga paradigma ini telah disepakati sebagai pondasi kokoh sejarah perkembangan administrasi publik saat ini. Terlebih pada perkembangan administrasi pelayanan publik sejak setahun terakhir ini (era tahun 2020) pandemi Covid 19 telah membukakan pintu perubahan sosial. Pergeseran model pelayanan publik ‘offline’ ke dunia serba digital (online) adalah era baru bagi perkembangan pelayanan publik saat ini.
Anjuran World Health Organization (WHO), agar warga masyarakat di seluruh dunia wajib cuci tangan, tidak berkumpul/melakukan pertemuan, menjaga jarak, membatasi keluar rumah bahkan dilakukan langkah isolasi dengan istilah isolasi mandiri perorangan (isoman), isolasi terpusat (isoter), bahkan seluruh kota (mulai dari Pembatasan Sosial Berskala Besar/PSBB sampai ‘lock down’). Saking banyaknya istilah-istilah baru yang digunakan oleh pemerintah untuk perlindungan kepada masyarakat (protection function) muncul ungkapan-ungkapan iseng dan lucu yang beredar di media sosial seperti “pelajaran ilmu pengetahuan sosial (IPS) katanya sudah tidak ada lagi karena sudah diganti dengan Pendidikan Sejarah Bangsa-Bangsa (PSBB), kemudian PSBB sudah tidak ada lagi karena sudah diganti dengan “Pendidikan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat (PPKM)” dan banyak lagi istilah-istilah lucu hanya sekadar bercanda terhadap istilah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang diberlakukan oleh pemerintah.
Fokus kita pada saat ini adalah bagaimana seharusnya birokrasi dan ASN beradaptasi dengan situasi dan kondisi pandemi covid 19. Untuk memberikan manfaat bagi masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung tidak dapat dihindari terjadinya pergeseran nilai nilai ‘old culture’ menuju ‘new culture’ pelayanan publik. Modifikasi terjadi akibat penyesuaian terhadap tekanan lingkungan yang terjadi saat ini. Tekanan lingkungan yang dimaksud adalah kondisi pandemi Covid -19 yang melanda dunia dan tidak ada yang tahu kepastiannya kapan akan berakhir. Demi memenuhi desakan yang kuat atas kepentingan perlindungan publik dimasa pandemi Covid19 pemerintah harus memberlakukan pelayaan publik dengan skema bekerja dari rumah (Working from Home). Apakah kebijakan tersebut efektif? Mungkin secara konsep dapat dikatakan sudah cukup baik tetapi bagaimana pada tataran implementasi? Ini yang menjadi persoalan. Working from Home menjadi satu-satunya langkah yang harus diterapkan pemerintah. Cultural transition dari old culture (of line) menuju new culture (online) di masa Pandemi Covid-19 tentu berada pada zona yang tidak nyaman. Karena ini betul-betul mengubah budaya kerja ASN yang biasanya bekerja secara berjenjang berdasarkan struktur kemudian tiba-tiba harus bekerja secara mandiri di rumah.
Iklim yang menyediakan peluang ke arah perubahan era baru tanpa disertai dengan upaya penyadaran untuk kemanfaatannya kepada kebaikan publik bisa jadi mengubah makna ‘new normal’ ini menjadi sekadar sebuah jargon. Bagaimana seharusnya birokrasi menginovasi diri menjadi mesin pelayanan publik yang adaptif? Untuk menyiasati hal ini Apa yang harus dilakukan?

  1. Birokrasi yang ada saat ini harus mengembangkan budaya kerja biroktasi yang lebih fleksibel.
  2. Ketika para ASN bekerja harus ditunjang oleh infrastruktur birokrasi yang relevan dengan situasi budaya berkerja yang fleksibel.
  3. Penguasaan dan pemanfaatan teknologi informasi oleh ASN.
  4. Menyiapkan kebijakan yang relatif bisa menjadi jalan keluar sebagai solusi di masa pandemi Covid-19.
    5 Gaya kepemimpinan yang relevan dengan situasi pandemi.
  5. Pemerintah melakukan penyederhanaan birokrasi dan pola komunikasi yang relevan.
    Hal ini penting agar pemerintah mampu menciptakan pelayanan publik yang profesional, terkontrol dinamis dalam situasi ‘new normal’ sehingga ketika situasi yang benar-benar normal maka akan tercipta sistem pelayanan publik yang berkolaborasi dan bertransformasi. *

*) Penulis adalah dosen Stispol Wira Bhakti Denpasar.