Kolom  

Semarak Galungan Walau masih Berselimut Pandemi

AA Putu Sugiantiningsih

Terselimut awan hitam dan sesekali yang muncul sinar matahari terpancar di hari Hari Raya Galungan ini, Rabu (10/11) yang datang setiap 6 bulan sekali pada kalender Bali, seperti diketahui penanggalan atau kalender Bali setiap bulannya berjumlah 35 hari, sehingga Galungan datangnya setiap 210 hari sekali tepatnya pada hari Rabu (Budha) Kliwon Wuku Dungulan. Pada saat perayaan terbesar terkesan cukup meriah, karena ciri khasnya setiap warga yang merayakan akan memasang penjor di sebelah kanan pintu masuk masing-masing pekarangan rumah, kantor ataupun perusahaan.
Pada hakekatnya perayaan tersebut diketahui dan diyakini sebagai hari kemenangan Dharma (kebajikan) melawan Adharma (kebatilan), untuk itulah diharapkan seluruh umat selalu menjaga kebaikan atau kebajikan di kehidupan ini agar bisa mendapatkan tempat yang baik di sisi-Nya atau lebih baik lagi di kehidupan mendatang yang dipercayai sebagai reinkarnasi.
Dalam suratan sejarah, Galungan bermula dari kisah Raja lalim, Mayadenawa. Kesaktiannya tidak terkalahkan menganggap dirinya adalah Dewa yang patut disembah oleh rakyatnya. Kesaktiannya tersebut diperoleh karena keteguhan dan ketekunan imannya pada Dewa Siwa. Untuk bisa merubah wujud. Hasil dari ketekunan menyembah dan memohon kepada Dewa Siwa, maka dikabulkanlah keinginannya, sehingga Mayadenawa menjadi raksasa sakti yang mampu melakukan perubahan wujud.
Dalam akhir kisahnya, Mayadenawa berhasil dikalahkan Dewa Indra. Dan atas kemenangan Dewa Indra melawan Mayadenawa ini disimbolkan sebagai kemenangan kebaikan melawan kejahatan. Dari sinilah sejarah hari raya Gulungan tersebut yang diturunkan dari generasi ke generasi sampai sekarang ini.
Saat perayaan ini juga ada tradisi memenjor atau membuat penjor. Penjor menggunakan bambu melengkung yang melambangkan gunung tertinggi tempat stana Dewa, dihiasi oleh hasil bumi atau pertanian untuk mengingatkan kita bahwa hasil bumi tersebut berasal dari Tuhan, dan secara utuh berarti ucapan terima kasih kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa atas segala kemakmuran yang telah dilimpahkan.
Rasa suka cita menyelimuti masyarakat Hindu. Khususnya di Bali, yang merayakan Galungan, hal ini sebagai perwujudan perayaan kemenangan kebaikan. Dalam melaksanakan yadnya, umat Hindu dalam (Bhagavadgita III : 9, 10) disebutkan yadnya menyimbolkan suatu penjelajahan dan pendakian spiritual untuk menyatukan potensi atau kekuatan yang bersifat Sattwik (sattvikam yadnya) yang ada dalam diri manusia sesuai dengan kodratnya.
Sementara itu jika dilihat dari etimologi kata yadnya disebutkan Ida Pedanda berasal dari bahasa sansekerta yaitu “yadn” yang berarti memuja, menyembah, berdoa, dan kurban suci. Pemujaan atau penyembahan ditujukan kepada jiwa yang lebih tinggi derajatnya seperti Tuhan dan para Dewa.
Adapun kurban suci yang dimaksud dalam Bhagavadgita tersebut ditujukan kepada spirit-spirit atau makhluk yang lebih rendah yang memiliki sifat yang baik maupun yang memiliki sifat buruk. selain itu yadnya bukanlah semata-mata bersifat ritual, tetapi juga tindakan atau kerja simbolis yang dipahami sebagai suatu konsep dalam rangka membuka jalan diri manusia ke arah yang lebih baik.
Walaupun dalam suasana Pandemi Covid-19, yang hampir melanda dunia selama 2 tahun, tapi masyarakat Hindu senantiasa merayakan hari raya Galungan dengan khusuk. Senyum tulus dan semangat beryadnya ditunjukkan dari 2 minggu jelang hari Raya Galungan. Wanita Hindu khususnya di Bali, sudah mempersiapkan diri dari mejejaitan, hingga berbelanja ke pasar untuk menghiasi sarana upakara persembahyangan dengan buah-buahan, janur dan bunga yang penuh warna dan keindahan.
Cerminan tersebut terlihat seolah-olah tidak ada pandemi yang terjadi di Bali. Walaupun harga bahan-bahan upacara tidaklah murah, akan tetapi tidak menyurutkan langkah umat Hindu di Bali khususnya untuk menyiapkan haturan sesajen saat perayaan Hari Raya Galungan. Anggapan dari masyarakat Hindu apa yang dipersembahkan pada Tuhan Yang Maha Esa, akan berbuah jalan yang baik atas apa yang dipersembahkan dengan rasa Bhakti dan tulus iklas. Hal tersebut tentunya akan menghadirkan nilai spirit besar dari keyakinan umat Hindu khususnya di Bali. *

banner 728x250

*) Penulis adalah Dosen Stispol Wira Bhakti