BEM: Antara Idealisme dan Tantangan Realitas

I Made Suyasa

Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Stispol) Wira Bhakti Denpasar memegang posisi unik dalam ekosistem kampus. Terlahir dari semangat kolektif mahasiswa, BEM idealnya menjadi representasi suara, aspirasi, dan bahkan garda terdepan dalam memperjuangkan kepentingan mahasiswa. Namun, menilik dinamika yang kerap mewarnai perjalanan organisasi ini, kita perlu menelisik lebih dalam antara idealisme yang diemban dengan tantangan realitas yang dihadapi.

Sebagai sebuah organisasi kemahasiswaan, BEM Stispol Wira Bhakti memiliki potensi besar untuk menjadi agen perubahan positif. Mereka dapat menjadi jembatan penghubung antara mahasiswa dan pihak pimpinan kampus, menyuarakan keluhan terkait fasilitas, kurikulum, hingga kebijakan kampus yang dianggap kurang berpihak pada mahasiswa. Lebih jauh lagi, BEM dapat menginisiasi berbagai program pengembangan diri, mulai dari seminar dan pelatihan yang meningkatkan soft skills hingga kegiatan pengabdian masyarakat yang menanamkan nilai-nilai sosial. Ketika BEM berfungsi optimal, ia mampu melahirkan mahasiswa yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki kepedulian sosial dan kemampuan kepemimpinan yang mumpuni.

Namun, realitas seringkali tidak seindah idealisme. Kualitas kepemimpinan menjadi fondasi utama keberhasilan BEM. BEM yang dipimpin oleh individu-individu visioner, berintegritas, dan memiliki kemampuan manajerial yang baik akan mampu menggerakkan organisasi secara efektif. Sebaliknya, jika pucuk pimpinan diisi oleh sosok yang kurang kompeten, terjebak dalam kepentingan pribadi atau kelompok, maka BEM berpotensi kehilangan arah dan kepercayaan dari mahasiswa.

Tantangan lain yang dihadapi BEM adalah dinamika internal. Perbedaan pandangan dan ide adalah hal yang lumrah dalam organisasi, namun jika tidak dikelola dengan bijak, dapat memicu perpecahan dan menghambat kinerja. Kemampuan untuk berdiskusi secara konstruktif, mencapai konsensus, dan mengedepankan kepentingan bersama menjadi kunci soliditas BEM.

Relasi dengan pihak pimpinan kampus juga menjadi faktor krusial. Sinergi yang harmonis antara BEM dan pihak kampus akan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan mahasiswa. BEM dapat berperan sebagai mitra kritis yang konstruktif, memberikan masukan yang membangun demi kemajuan institusi. Namun, jika hubungan yang terjalin justru diwarnai ketegangan dan distrust, potensi BEM untuk berkontribusi secara maksimal akan terhambat. Bahkan, tak jarang kita melihat BEM justru menjadi alat politik praktis atau sekadar formalitas tanpa substansi yang jelas.

Oleh karena itu, penting bagi seluruh elemen kampus, terutama mahasiswa, untuk mengawal dan mengkritisi kinerja BEM secara konstruktif. Mahasiswa memiliki hak untuk menuntut transparansi, akuntabilitas, dan efektivitas program kerja BEM. BEM sendiri perlu terus berbenah diri, meningkatkan kualitas kepemimpinan, memperkuat internal organisasi, dan membangun komunikasi yang efektif dengan seluruh elemen kampus.

Sebagai penutup, BEM memiliki potensi besar untuk menjadi pilar penting dalam kehidupan kampus. Namun, mewujudkan potensi tersebut membutuhkan komitmen yang kuat dari seluruh pengurus dan anggota, kemampuan untuk beradaptasi dengan tantangan, serta dukungan dan pengawasan yang konstruktif dari seluruh komunitas mahasiswa. BEM yang ideal adalah organisasi yang benar-benar bekerja untuk kepentingan mahasiswa, menjadi wadah aspirasi yang kredibel, dan mampu melahirkan pemimpin-pemimpin masa depan yang berkualitas. *